Berapa Harga Kepemimpinan? Membaca LHKPN Kepala Daerah Malang Raya

image
Sumber: Menpan Rb

Kontestasi kepala daerah setiap lima tahunan kembali menjadi orkestrasi elite lokal untuk mencapai kekuasaan, terutama pada tataran kepala daerah, melalui pengusungan para kontestan dan strategi kampanye untuk memperebutkan suara terbanyak dari konstituen. Akan tetapi, hal yang perlu diwaspadai dari Pilkada sejatinya bukan terletak pada pertarungan elite di ‘permukaan’, melainkan kongkalikong ‘di balik layar’ saat kepala daerah terpilih. Dalam waktu lima tahun terakhir, di Jawa Timur saja, korupsi yang dilakukan bupati dan walikota justru dilangsungkan sebelum pilkada. Hasil riset MCW tentang Korupsi Pengadaan Barang dan Jasa Jawa Timur (2018-2023), mayoritas kepala daerah yang ‘diciduk’ KPK terbukti melakukan ijon politik (pertukaran bisnis-politik) dengan pengusaha untuk memberikan dukungan terhadap dirinya dan sebagai gantinya, pengusaha ini mendapatkan akses lebih besar untuk meraup untung dari proyek pemerintah. Seperti kasus ijon pengerjaan infrastruktur di Sidoarjo tahun 2018, praktik korupsi seperti ini akan selalu ditemukan dalam setiap Pilkada mengingat kontestasi politik lokal tidak pernah lepas dari modal besar. 

Sebagai upaya untuk mencegah potensi korupsi, maka setiap pejabat negara harus melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) kepada KPK. Tidak terkecuali pada kepala daerah terpilih di Malang Raya, mereka diharuskan untuk memberitahukan harta kekayaannya sebagai pertanggungjawaban kepada publik. Laporan kepemilikan harta (tanah, bangunan, kendaraan, dan aset lainnya) menjadi instrumen utama dari LHKPN setiap pejabat negara dan mereka diharuskan untuk memperbarui datanya setiap tahun supaya tren peningkatan harta kekayaannya bisa diawasi bersama. Akan tetapi, LHKPN sendiri juga memiliki kelemahan sistemik dalam pelaporannya. Pertama, lemahnya kepastian hukum. Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) tidak mencantumkan sanksi tegas bagi pejabat yang tidak melapor di LHKPN. Hal ini membuka celah besar bagi pejabat untuk tidak tertib melaporkan hartanya karena tidak ada denda maupun hukuman yang mengikat pejabat dan LHKPN bisa diabaikan karena sebatas instrumen moral semata. Kedua, ketiadaan instrumen untuk melacak kejanggalan harta kekayaan. LHKPN hanya melampirkan harta fisik seorang pejabat tanpa dilengkapi instrumen untuk melacak peningkatan jumlah kekayaan, terutama dari unexplained wealth (harta yang tidak jelas sumbernya) ataupun illicit enrichment (kenaikan harta yang tidak wajar). Hal ini membuat pelaporan kekayaan para pejabat tidak mampu mengcover semua harta yang dimiliki dan ini juga berpotensi meluputkan pengawasan terhadap praktik korupsi yang mungkin dilakukan oleh pejabat. 

Sehubungan dengan kelemahan mendasar dari LHKPN, maka pemantauan terhadap LHKPN dari pejabat belum cukup untuk mengawasi gerak-gerik mereka. Belum lagi ketika dihadapkan dengan terpilihnya tiga kepala daerah baru di Malang Raya – Wahyu, Sanusi, dan Nurochman – maka pengawasan terhadap kepala daerah harus menjadi perhatian bersama dalam meminimalisir potensi korupsi yang akan terjadi dalam pemerintahan mereka (2025-2030).Atas dasar itulah, MCW melakukan pemantauan terhadap laporan harta kekayaan para kepala daerah terpilih di Malang Raya periode 2025-2030 dan laporan tersebut bisa diakses melalui tautan ini: Analisis LHKPN Kepala Daerah Malang Raya 2025