Inefisiensi Anggaran, Korupsi dan Birokrasi Daerah

Sumber: Republika

Pemerintah telah melakukan pemotongan terhadap sejumlah anggaran dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kabar terakhir kebijakan pemotongan tersebut tidak hanya bertujuan untuk efisiensi anggaran, namun juga pendanaan awal Danantara untuk keperluan investasi. Efisiensi rencananya akan dilakukan dalam tiga gelombang pada 2025 yang ditarget total Rp. 750 Triliun, atau sekitar 27 persen dari belanja negara. Dampak atas kebijakan ini tidak hanya berpengaruh terhadap pemotongan sejumlah nomenklatur anggaran setingkat kementerian, namun juga memiliki coattail effect (efek ekor jas) yang merembet hingga berbagai program di ranah pemerintah daerah. Artinya daerah juga mengalami berbagai pemotongan anggaran melalui dana perimbangan, yakni dana yang digunakan untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.

Dampak

Tidak dapat dipungkiri bahwa faktor anggaran dan kinerja birokrasi saling berkaitan satu sama lain. Dalam konteks daerah, masalah pengelolaan anggaran kerap tertuju pada besarnya pengalokasian gaji pegawai dan operasional. Alokasi penggunaan dana untuk gaji pegawai dan operasional dapat mencapai 60 persen dari total anggaran pemerintah daerah. Efisiensi anggaran jika tidak dibarengi dengan reformasi birokrasi yang berarti tentu akan semakin memperburuk keadaan. Sedangkan upaya reformasi birokrasi di Indonesia masih menghadapi banyak jalan terjal yang belum terselesaikan seperti tumpang tindih kewenangan, korupsi, dan lambatnya proses administrasi. Dampak yang paling nyata di ranah pemerintah daerah tentu akan berpengaruh negatif terhadap kinerja birokrasi daerah karena pendekatan penggunaan anggaran di daerah selama ini masih berkutat pada money follow function alih-alih money follow program. Jumlah nominal anggaran disesuaikan dengan fungsi masing-masing unit dalam organisasi daerah, bukan berbasis bobot program sesuai tujuan yang ditetapkan pemerintah. Logika ini masih melekat kuat dalam struktur pemerintahan di republik ini.

Lebih dari itu, pemotongan anggaran akan berdampak pada otonomi daerah yang semakin terkikis, pemerintahan semakin tersentralisasi ke pusat. Kebijakan efisiensi anggaran, serta lahirnya UU yang problematik seperti UU Cipta Kerja dan UU Minerba adalah gejala konkret dari pemusatan kembali kekuasaan ke tangan pemerintah pusat. Padahal semangat otonomi daerah merupakan salah satu semangat reformasi, yang mengharuskan adanya perimbangan kekuasaan antara daerah dan pusat, mengembangkan potensi daerah sesuai karakternya masing-masing, serta meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Logika sederhananya, pemerintah daerahlah yang beririsan langsung sehingga lebih memahami apa-apa yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Pada lain sisi, kita memahami bahwa biaya politik pencalonan kepala daerah di Indonesia sangat mahal. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2020 mengungkap dalam satu gelaran pilkada saja, seorang calon kepala daerah dapat mengeluarkan biaya sebesar Rp 20 miliar hingga Rp 100 miliar. Biaya politik yang tinggi saat masa pencalonan ini mengharuskan kepala daerah terpilih untuk mengembalikan modal pencalonan, atau bahkan dapat melipatgandakan surplus dari hasil korupsi untuk modal pencalonan-pencalonan berikutnya. Berbagai data mengenai pelaku korupsi terbanyak berasal dari lingkup pemerintah daerah, baik di tingkat provinsi, kabupaten/kota, pihak swasta, serta desa. Fenomena ini biasa disebut elit capture, dimana korupsi, penyuapan, dan interaksi transaksional antara elit politik dan aktor swasta terjalin sejak penyusunan anggaran demi keuntungan mereka sendiri. Sehingga praktik korup bukan lagi karena ada peluang, namun karena paksaan atau bahkan menjadi sebuah keharusan.

Dipotongnya berbagai anggaran, disaat yang sama akan mendapat respon yang beragam dari pemerintah atau aparatur yang ada di level daerah. Fenomena elit capture akan terus berlangsung di tengah keterbatasan karena berbagai pemotongan anggaran. Contoh objek anggaran yang menjadi langganan korupsi yakni sektor belanja (terutama dalam hal proyek pengadaan barang dan jasa) yang terpaksa ditunda karena efisiensi anggaran. Saat objek korupsi semakin berkurang, maka pelaku korupsi akan memakai berbagai macam cara agar dapurnya dapat terus mengepul. Satu hal lagi respon yang perlu diwaspadai adalah potensi maraknya praktik pungutan liar karena objek anggaran, yang sebelumnya menjadi sasaran korupsi, semakin berkurang. Perlu diingat bahwa anggaran juga berfungsi sebagai stabilisasi, alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian. Terbatasnya sumber daya karena efisiensi anggaran ditengah kultur ketergantungan pada uang dan korupsi dapat membuka potensi pungutan liar semakin besar. Rakyat lagi-lagi menjadi pihak yang paling dirugikan karena pemotongan anggaran berpengaruh buruk terhadap pelayanan dan fasilitas publik.

Kebijakan Pro-Koruptor

Pada faktanya, pemerintah memang tidak pernah secara serius menghilangkan efek jera bagi koruptor. Secara institusi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tetap lemah dengan adanya UU No. 19 Tahun 2019 yang membuat KPK tidak lagi independen. Ketentuan kewenangan KPK dapat menangani korupsi di daerah yang mendapat perhatian dari masyarakat telah dihapus. Dalam UU tersebut, KPK juga tidak lagi dapat membentuk perwakilan di daerah provinsi yang semula tercantum dalam UU sebelum revisi. Sedangkan inspektorat sebagai pengawas penyelenggaraan pemerintahan daerah masih subordinat hubungannya (atasan dan bawahan) dari kepala daerah. Integritas penegakan hukum anti korupsi pada akhirnya demikian mudah dilucuti oleh sistem kekuasaan koruptif (state captured corruption). Belum lagi, ICW menyebutkan bahwa mayoritas pelaku korupsi divonis ringan, penuntut umum rata-rata hanya menuntut terdakwa perkara korupsi dengan pidana penjara selama 4 tahun 11 bulan dan denda Rp. 236 juta rupiah. Selisih antara kerugian keuangan negara dan uang pengganti juga terpaut sangat jauh.

Indonesia telah meratifikasi kerja sama internasional soal pemberantasan korupsi dalam bentuk UNCAC (United Nations Convention Against Corruption), memberikan kewajiban kepada negara untuk mendukung agenda pemberantasan korupsi. Sedangkan UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), yang harusnya jadi prioritas untuk dilakukan penyesuaian justru dibiarkan begitu saja sejak 2002. Indonesia perlu melakukan penyesuaian UU Tipikor dengan beberapa poin-poin kesepakatan dalam UNCAC, seperti pidana penambahan ketentuan tidak wajar (illicit enrichment), memperdagangkan pengaruh, pencucian hasil korupsi, hingga suap di sektor privat. Bukan malah memperlemah institusi pemberantasan korupsi, sedang disaat yang sama mengesampingkan rekomendasi pemidanaan korupsi yang sesuai kebutuhan perkembangan zaman hari ini. 

Titik rawan yang membuka celah korupsi proses penganggaran daerah juga masih ada sejak tahap perencanaan, penyusunan, penetapan, pelaksanaan, pertanggung jawaban hingga tahap audit. Celah korupsi pada setiap tahapan penganggaran daerah ini juga dilanjutkan pada berbagai modus, seperti penyempitan partisipasi masyarakat, penerimaan anggaran yang di mark down, sektor belanja yang di mark up, akses informasi anggaran yang terbatas, manipulasi tender, hingga laporan fiktif. Semua ini menjadi praktik umum yang terjadi di proses penganggaran ranah pemerintah daerah. Celah-celah tersebut dapat muncul karena sejak awal partisipasi masyarakat memang sudah dipersempit. Pelaksanaan Musyawarah Pelaksanaan Pembangunan (Musrenbang) dan berbagai sosialisasi hanya menjadi partisipasi semu atau formalitas belaka. Masyarakat pun kesulitan untuk melihat aspek transparansi, sudah sejauh mana proses tindak lanjut usulan kegiatan telah diakomodir oleh pembuat kebijakan. Efeknya, alokasi penganggaran tak tepat guna dan kurang relevan dengan kebutuhan nyata masyarakat.

Ditengah berbagai kebijakan yang tidak menghilangkan efek jera untuk koruptor ditambah upaya reformasi birokrasi yang masih pincang di daerah, efisiensi anggaran dapat memperbesar potensi korupsi. Hal ini justru kontradiktif dengan pernyataan Presiden Prabowo yang seringkali berkampanye di berbagai forum mengenai tingkat korupsi di Indonesia sangat memprihatinkan. Pemerintah perlu memikirkan secara serius pentingnya tata kelola yang kuat serta pengawasan yang independen. Sebab jika tidak, efisiensi anggaran akan berubah menjadi inefisiensi anggaran. Korupsi akan tetap menggurita dan rakyat semakin menderita.

Ahmad Adi Susilo (Malang Corruption Watch)