
Ungkapan ini muncul saat protes salah satu warga atas kelangkaan gas elpiji 3 kg. Salah satunya ialah Pak Effendi. Munculnya orang-orang seperti Pak Effendi, dan juga Pak Khalid yang menyuarakan suara dari nelayan yang terdampak pagar laut, adalah sebenar-benarnya wakil rakyat yang dengan lantang menyuarakan apa yang dirasakan. “Jangan ganggu kemiskinan kami,” mengandung makna yang begitu dalam. Daya juang bertahan hidup memenuhi kebutuhan sehari-hari bisa terhambat saat pemerintah berusaha turut campur tangan. Alhasil, ungkapan tersebut muncul tiba-tiba dari mulut rakyat biasa, kata-kata dari lubuk hati terdalam. Kita bisa menangkap pesan tersebut sebagai penggambaran realitas kemiskinan di Indonesia. Pertama, tanpa kehadiran pemerintah sekalipun rakyat miskin telah terbiasa menanggung kemiskinannya sendiri. Kemiskinan itu hak, dan ini agak berbahaya karena mengandaikan seseorang bisa miskin sepenuhnya karena faktor individu. Kedua, program pemerintah kurang bisa menangkap masalah yang dialami masyarakat dengan keterbatasan ekonomi. Namun, fakta justru menunjukkan bahwa meskipun rakyat ingin terlepas dari berbagai intervensi pemerintah, itu menjadi sia-sia, sebab yang pribadi itu politis (personal is political). Mustahil bagi seorang warga negara untuk dapat sepenuhnya lepas dari intervensi politik.
Kemiskinan di Indonesia
Kemiskinan di Indonesia dicirikan oleh banyaknya rumah tangga yang berada di sekitar garis kemiskinan. Meskipun tidak tergolong miskin, namun seseorang rentan mengalami kemiskinan. Kondisi kemiskinan yang dinamis ini harus disertai upaya penyesuaian indikator yang dapat menangkap kompleksitas kemiskinan. Indikator kemiskinan menurut BPS (Badan Pusat Statistik), menggunakan metode penghitungan representasi jumlah rupiah minimum yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan pokok makanan setara 2.100 kilo kalori dan kebutuhan non makanan per kapita per bulan. Atau sekitar Rp. 21.250 per orang per harinya (data per September 2024). Artinya seseorang pengeluaran diatas itu per harinya tidak dikategorikan miskin. Indikator ini memiliki sejumlah kelemahan, diantaranya belum mengakomodir pola konsumsi masyarakat saat ini, perbedaan antar daerah yang beragam, perhitungan jumlah aset, serta keterbatasan mengakomodir kelompok rentan lain di luar kategori miskin menurut BPS. Akibatnya, indikator BPS tidak dapat menggambarkan kondisi yang sebenarnya atau kurang lagi relevan. Selain itu, penggunaan indikator BPS ini juga kurang kompatibel dengan skema pendataan berjenjang yang melibatkan berbagai macam lintas pemerintahan. Akibatnya data seringkali tumpang tindih, tidak valid dan tidak tepat sasaran.
Data terbaru dari Badan Pusat Statistik menunjukan adanya penurunan tren kemiskinan secara bertahap, pada September 2024 tercatat sebesar 8,57% mengalami penurunan sebesar 0,46 % poin (pp) dibandingkan bulan maret 2024. Akan tetapi, ketimpangan distribusi pendapatan justru bertambah. Laporan riset Celios (pada September 2024) menunjukan bahwa kekayaan 50 triliuner teratas di Indonesia setara dengan kekayaan 50 juta orang. Artinya pemerataan masih menjadi masalah serius yang perlu mendapat perhatian. Hubungan kontradiktif antara kemiskinan yang menurun dan di sisi yang lain ketimpangan justru bertambah ini disebabkan oleh pembacaan atas kondisi kemiskinan BPS yang terbatas. Bagaimanapun, aspek kualitatif atau non-moneter turut mempengaruhi tingkat kemiskinan seseorang. Pembacaan kondisi kemiskinan yang mempertimbangkan aspek kualitatif akan mempertimbangkan kepantasan, kewajaran, atau kesesuaian, serta lebih memuliakan dan menghormati setiap warga negara yang tergolong miskin atau rentan.
Masyarakat yang tergolong miskin diukur menurut indikator BPS, berupa deretan angka kuantitatif, akibatnya seringkali output kebijakan yang diambil pun terkesan menyederhanakan masalah. Seperti pendekatan kedermawanan (charity approach) yang sekadar memberikan bantuan langsung. Kebijakan tidak menyentuh problem yang nyata atau hanya di permukaan saja, tidak menyentuh akar permasalahan, dan justru menciptakan ketergantungan. Lebih parah lagi, penanganan kemiskinan justru berkait kelindan dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Pernyataan Ketua Dewan Ekonomi Nasional beberapa hari yang lalu, yang menyebut hanya separuh bantuan sosial dari Rp 500 triliun yang tersalurkan tentu sangat mencengangkan.
Anggaran Pro Kelompok Rentan
Selama ini hidup dalam kondisi kemiskinan selalu identik dengan aspek ekonomi berupa kekurangan uang atau tingkat pendapatan yang rendah. Padahal secara kontekstual, kemiskinan di Indonesia disebabkan oleh berbagai aspek yang multidimensional. Kemiskinan dapat berarti luas seperti tingkat kesehatan, pendidikan rendah, perlakuan tidak adil dalam hukum, kerentanan terhadap ancaman tindak kriminal, ketidakberdayaan menghadapi kekuasaan dan ketidakberdayaan dalam menentukan jalan hidupnya sendiri. Sehingga pendekatan pengembangan sumber daya manusia secara berkelanjutan seperti pendidikan dan kesehatan seharusnya menjadi prioritas utama, bukan fasilitas pendukung. Pendekatan ini berguna untuk meletakkan fondasi struktur sosial dan politik yang lebih berguna untuk memerangi kemiskinan. Dari sini, dapat disimpulkan potret kemiskinan tidak dapat hanya disematkan oleh faktor personal seperti tidak rajin bekerja, tidak pintar, malas, takdir dan sebagainya. Melainkan juga dapat disebabkan oleh hilangnya peran negara atau pemerintah dalam melindungi kelangsungan hidup rakyatnya.
Skema anggaran pro kelompok rentan menggambarkan bahwa pemaknaan miskin tidak hanya tersematkan kepada ketidakmampuan seseorang secara ekonomi, tetapi juga merujuk kepada kondisi dimana seseorang maupun sekelompok orang tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat akibat keterbatasan yang dimiliki. Alhasil, penempatan isu lain seperti isu responsif gender dan disabilitas ke dalam kelompok rentan menjadi sangat relevan, mengingat kelompok tersebut merupakan pihak yang kerap dikesampingkan oleh kebijakan negara karena keterbatasan yang dimiliki serta budaya patriarki yang masih mengakar di masyarakat. Penggabungan isu ini ke dalam kelompok rentan selaras dengan esensi kebijakan anggaran yang berkeadilan, bagian tak terpisahkan dari sekian banyak kebijakan lain yang diperlukan untuk menanggulangi kemiskinan.
Arus desentralisasi dan demokrasi lokal menjadi konteks yang memungkinkan masyarakat turut andil dalam pengelolaan anggaran. Sehingga kerangka penyusunan rencana pembangunannya tidak bersifat pragmatis seperti yang dikehendaki oleh pemerintah, tetapi berangkat dari apa yang diinginkan dan disuarakan oleh masyarakat. Kelompok rentan diberi ruang dan akses yang luas dalam penyusunan kebijakan anggaran mulai dari perencanaan hingga evaluasi, menempatkannya sebagai subjek dan sasaran utama pembangunan. Oleh karena itu, alokasi anggarannya juga lebih dominan dari sektor yang lain. Langkah-langkah diatas harus segera dilakukan sebagai langkah reformasi kebijakan sekaligus bukti keberpihakan kebijakan sosial-ekonomi kepada kelompok rentan.
Ahmad Adi Susilo