Restitusi Kanjuruhan: Perjuangan Tiada Henti Keluarga Korban

Restitusi selama ini hanya diartikan sebagai bagian dari pemulihan kepada korban berupa ganti rugi yang harus diberikan oleh pelaku kejahatan. Namun lebih dari itu, restitusi seharusnya ditempatkan sebagai bagian dari hak untuk membuka kembali proses persidangan, pemulihan (restorasi) terhadap hak hukum, hingga pengakuan kewarganegaraan.

Dalam latar sejarahnya, restitusi muncul saat gerakan atau perjuangan hak-hak korban justru membuka fakta bahwa sistem peradilan pidana terlalu berfokus pada pelaku kejahatan, dan seringkali gagal memenuhi kepentingan serta kebutuhan dari korban kejahatan. Gerakan ini pada gilirannya menghasilkan kesadaran yang lebih besar akan kebutuhan dan kekhawatiran para korban dalam sistem peradilan pidana. Korban yang seharusnya diberikan dukungan, bantuan dan informasi justru sering diabaikan dalam sistem peradilan pidana.

Selama dilangsungkannya persidangan peristiwa Kanjuruhan mulai tanggal 20 Januari 2023 sampai tanggal 16 Februari 2023, pelibatan dan kepentingan keluarga korban maupun saksi korban dalam proses persidangan begitu minim. Pengadilan kerap melakukan pelarangan liputan/siaran langsung media-elektronik serta dialihkannya proses persidangan ke Pengadilan Negeri Surabaya.

Putusan majelis hakim yang menetapkan nominal restitusi Rp. 1,02 M semakin membuat keluarga korban kecewa. Rp. 15 Juta untuk satu korban meninggal dan Rp. 10 juta untuk korban luka adalah nominal yang sangat kecil. Beberapa hal yang perlu disadari dalam konteks ini adalah:

Pertama, restitusi itu berbeda dengan bantuan. Restitusi terkait langsung dengan posisi korban sebagai warga negara dihadapan hukum yang berlaku, sedangkan bantuan bersifat sukarela (tanpa pamrih dan tak perlu diungkit-ungkit). Restitusi adalah proses, upaya, serta perjuangan tak henti-hentinya untuk memastikan sejauh mana hukum berpihak terhadap keadilan “usut tuntas”. Pada warga negara yang selama ini diabaikan saat peradilan pidana berlangsung. Melalui restitusi, keluarga korban secara langsung berusaha menjunjung tinggi penghormatan terhadap negara hukum (dan demokrasi) sebagaimana amanat konstitusi. Pertimbangan majelis hakim yang menilai korban telah mendapatkan banyak bantuan menandakan adanya logika yang salah dan tidak bisa dibenarkan. Hal ini dikarenakan karena restitusi dan bantuan adalah dua hal yang berbeda dan tidak dapat dicampuradukkan antara satu dengan lainnya.

Kedua, pemberian berbagai macam bantuan atau tali asih atau donasi atau sumbangan dan/atau upaya sejenisnya, sebagaimana yang menjadi pertimbangan majelis hakim, juga mengandung kelemahan berupa ketidakpastian nasib ataupun jaminan kehidupan yang aman. Sejumlah catatan kritis terkait distribusi bantuan diantaranya antara lain; (1) penyaluran bantuan tidak dilakukan melalui satu pintu, (2) penyaluran bantuan dilakukan secara tidak merata, (3) penyaluran bantuan untuk korban luka berat (bukan korban meninggal dunia) juga tidak secara jelas diakomodir. Absennya pemenuhan terhadap ketiga bantuan ini mengakibatkan berbagai macam permasalahan lanjutan pada upaya tindak lanjut penanganan kasus.

Ketiga, nilai restitusi untuk 71 korban peristiwa Kanjuruhan tak sesuai perhitungan yang dibuat LPSK (senilai Rp. 17,5 M). Padahal, total korban peristiwa Kanjuruhan, baik yang meninggal, luka berat, maupun luka ringan sejumlah sekitar 782 orang. Artinya tidak lebih dari 10% dari keseluruhan korban yang melakukan upaya restitusi. Sedangkan selebihnya belum masuk ke dalam pendataan LPSK, mereka kekurangan informasi atau memilih pasif karena berbagai pertimbangan pribadi.

Persidangan sebagai prosedur resmi dalam sistem hukum negara harus berlaku adil kepada para korban. Seharusnya pemenuhan hak korban peristiwa Kanjuruhan tidak hanya sekedar aspek kerugian yang diperhitungkan secara materiil, perlu ada perhitungan yang jelas dalam mengukur kerugian terhadap korban dengan mempertimbangkan aspek yang lebih vital, seperti pendidikan, usia, pendapatan, kondisi aktual, pengaruh terhadap kondisi keluarga, serta tahun yang tersisa sebelum mencapai usia harapan hidup. Pertimbangan ini menjadi penting karena terhitung hanya untuk korban meninggal dunia, 65 korban berusia dibawah 18 tahun, 68 korban berusia 19-40 tahun, dan 2 korban berusia diatas 40 tahun. Artinya mayoritas korban meninggal dunia merupakan generasi muda, yang dipaksa kehilangan masa depan karena peristiwa Kanjuruhan. Tentu sangat wajar, bahkan menjadi sebuah kepastian, ketika keluarga korban yang awalnya berharap pada restitusi kini semakin kecewa karena haknya yang lagi-lagi dikesampingkan dan bahkan terciderai.

Para korban peristiwa Kanjuruhan mengalami beban ganda pasca peristiwa Kanjuruhan. Bahkan bukan lagi beban ganda, melainkan beban yang berkelanjutan. Beban terkait viktimisasi lanjutan akibat penolakan yang sistematis oleh sistem peradilan pidana. Beban yang merujuk pada beban sosial yang muncul sebagai akibat dari dampak psikologis ini juga ditambah dengan ketidakjelasan atas jaminan kerugian-kerugian sosial yang telah dialami. Beban yang muncul akibat dari penanganan peristiwa dan pemenuhan hak yang tidak berperspektif korban. Putusan restitusi oleh majelis hakim lebih memperlihatkan pengabaian pelaku kejahatan, tanpa ada pertimbangan serius terhadap para korban.

Pada akhirnya, tidak ada sepak bola seharga nyawa. Keluarga korban akan terus berjuang demi keadilan. Keadilan yang menegakkan hukum terhadap ketidakadilan. Keadilan yang memiliki perspektif korban. Dari dalam kubur, suara para korban akan lebih keras daripada dari atas bumi. Perjuangan yang akan terus dilanjutkan oleh keluarga korban yang didasari oleh ikatan batin dan darah antara ibu dan anak, oleh ayah yang selalu mengingat paras anaknya, oleh kakak atau adik dengan kasih sayang sepanjang hayat. Oleh perjuangan abadi segenap unsur solidaritas laksana sumber mata air pergerakan yang tak lekang zaman. Kita telah melawan, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya. Dan upaya restitusi adalah bagian dari langkah perjuangan itu. Perjuangan dengan penuh rasa hormat melawan ketidakadilan.

Zaidan Zainaddin (Badan Pekerja Malang Corruption Watch) & Ahmad Adi Susilo (Koordinator Malang Corruption Watch)