
Dunia kesehatan tidak sedang baik-baik saja. Temuan dari Ombudsman Republik Indonesia (ORI) pada 2024 menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat yang belum menjadi peserta BPJS Kesehatan meski mereka tinggal di wilayah yang diklaim telah mencapai UHC 100%. Jumlah peserta non aktif BPJS Kesehatan dari temuan tersebut mencapai 56,8 juta peserta, angka tersebut bisa dibilang besar sekitar 20,4% dari total klaim pemerintah. Masyarakat perlu mempertanyakan kembali capaian program Universal Health Coverage (UHC) yang disebut telah mencapai 98% dari total penduduk di Indonesia. Pada saat yang bersamaan, persoalan pendataan sepenuhnya diserahkan kepada daerah secara otonom. Aspek pendataan kepesertaan seringkali justru menjadi masalah yang fundamental dan pada sisi yang lain juga terabaikan. Problem pendataan ini dalam konteks tertentu dapat menjadi bom waktu yang berpotensi menular ke berbagai ranah.
Rakyat Bukan Sekadar Angka
Kebijakan yang ada di pusat selalu berkorelasi dengan daerah. Pada bulan Agustus 2023, Pemerintah Kabupaten Malang telah membuat gempar jagad hingga ke nasional karena menonaktifkan 419 ribu masyarakat peserta BPJS Penerima Bantuan Iuran Daerah (PBID). Alasannya karena APBD yang membengkak mencapai Rp 25 miliar per bulan, sedangkan Pemerintah Kabupaten Malang juga masih terlilit hutang sebesar Rp 84 Miliar ke BPJS Kesehatan. Banyak pihak yang menilai bahwa ini merupakan dampak dihapusnya Mandatory Spending dalam UU Kesehatan yang terbaru, meskipun spekulasi ini segera ditampik oleh Juru Bicara Kementerian Kesehatan. Kepala Dinas Kabupaten Malang menyatakan bahwa idealnya biaya yang dikeluarkan untuk Penerima Bantuan Iuran (PBI) hanyalah 5M dalam sebulan, tapi kali ini justru menjadi 25 M per bulan, sehingga pemutakhiran data dinilai sebagai keputusan yang harus diambil.
Sebelum permasalahan ini terjadi, pada 14 Maret 2023, Pemerintah Kabupaten Malang telah menerima penghargaan Universal Health Coverage (UHC) Jaminan Kesehatan Nasional dalam puncak acara UHC Award 2023. Bupati Malang dengan rasa bangga dan sumringah menerima trophy penghargaan tersebut. Penghargaan UHC ini berhasil diraih oleh Pemerintah Kabupaten Malang atas berhasilnya pelayanan kesehatan gratis bagi 661 ribu warganya (97,26%). Namun, kabar mengejutkan terjadi 5 bulan kemudian ketika 63,3% kepesertaan BPJS PBID tiba-tiba dinonaktifkan. Ibarat pepatah “habis dijunjung, tapi tersungkur”, penonaktifan kepesertaan BPJS setelah penghargaan ini membuat masyarakat Kabupaten Malang semakin tersungkur dan penuh kekecewaaan karena hilangnya kepastian akan layanan kesehatan. Dari masalah ini banyak masyarakat yang kebingungan mengakses layanan kesehatan, seringkali masyarakat merasa diputar kesana kemari oleh pemberi layanan. Banyak warga yang kalang kabut karena penonaktifan PBI JK yang sepihak dan mendadak karena berkaitan dengan kondisi kesehatan yang juga tidak dapat diprediksi. Alih-alih menunjukkan komitmen yang nyata, kejadian ini seolah menunjukkan oportunisme pemda yang sekadar memanfaatkan momentum demi mendapatkan penghargaan.
Pemerintah pusat hendaknya serius menindaklanjuti hasil temuan Ombudsman. Meskipun BPJS Kesehatan juga sering mendapat berbagai penghargaan internasional, seperti ketika mendapatkan penghargaan International Social Security Association (ISSA) Good Practice Award awal Desember 2024 ini. Pelayanan kesehatan prima tidak diukur berdasarkan banyaknya jumlah prestasi yang didapat oleh pemerintah, namun diukur dari manfaat langsung yang dirasakan secara langsung oleh masyarakat, sebagaimana amanat konstitusi pasal 34 dimana negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Kata “layak” ini lebih berfokus pada aspek kualitatif, seperti kepantasan, kewajaran, atau kesesuaian. Aspek pelayanan kesehatan hendaknya harus memuliakan dan menghormati penerima layanan kesehatan.
Penghargaan yang mereka dapatkan ini hanya menempatkan masyarakat, sebagai penerima layanan kesehatan, tidak lebih dari sekadar deretan target capaian angka yang diukur secara kuantitatif. Dampaknya, kebijakan tidak menjawab problem nyata namun hanya menyentuh permukaan, terutama dari aspek kepesertaan. Barang itu tampak mewah dari luar namun bermasalah secara substansi. Prestasi perlu dibuktikan langsung kepada masyarakat, tidak dalam bentuk penghargaan namun keberpihakan nyata kepada masyarakat luas. Ketercapaian UHC mungkin dapat menjadi prestise politik, namun belum dapat menggambarkan capaian prestasi kinerja. Kita dapat belajar banyak dari berbagai macam kasus yang ada di daerah maupun pusat.
Fokus Pada Pemberdayaan dari Bawah
Seringkali sumber masalah yang selama ini muncul bersumber dari bawah, dalam arti tahapan kebijakan yang membutuhkan hubungan ataupun interaksi langsung dengan masyarakat. Langkah verifikasi dan validasi sudah menjadi langkah yang diamanatkan langsung dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.28 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional, tetapi langkah menonaktifkan secara tiba-tiba bukanlah sesuatu yang dapat dibenarkan. Permensos No. 21 Tahun 2019 Tentang Persyaratan Dan Tata Cara Perubahan Data Penerimaan Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan, data PBI Jaminan Kesehatan dapat dilakukan perubahan. Perubahan substantif terdiri atas penghapusan, penggantian atau penambahan. penggantian PBI Jaminan Kesehatan dapat dilakukan oleh dinas sosial daerah kabupaten/kota. Lebih lanjut, Peraturan Presiden Nomor 1 tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program JKN, memerintahkan para Bupati/Walikota untuk menyusun dan menetapkan regulasi serta mengalokasikan anggaran serta memastikan setiap penduduk yang berada di wilayahnya terdaftar dalam program Jaminan Kesehatan Nasional di wilayahnya.
Posisi pemerintah pusat dalam konteks pendataan hanya mengatur secara umum, yang membedakannya yakni pelaksanaan yang ada di lapangan oleh pemerintah daerah. Efektivitas pelaksanaan program BPJS sangat bergantung pada masalah yang ada di wilayah “bawah” kebijakan, seperti updating data, transparansi, kejelasan prosedur teknis, kedisiplinan dan kapasitas birokrasi. Efektivitas pelaksanaannya juga tergantung pada pelaksanaan birokrasi di daerah, yang melibatkan berbagai macam Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD), seperti pemerintah desa atau kecamatan dan Dinas Sosial (untuk data ganda dan pembaruan data warga yang sudah meninggal dunia), Dinas Pencatatan Sipil (untuk kesesuaian NIK), serta Dinas Kesehatan dan Cabang BPJS (sebagai leading sector di daerah), dan lain-lain. Bahkan untuk fungsi penganggaran, sebagai isu yang cukup krusial untuk BPJS, melibatkan lebih banyak lagi unsur yang ada.
Saat pemerintah meningkatkan inovasi layanan yang mengintensifkan pelibatan masyarakat, maka akan menumbuhkan partisipasi yang lebih bermakna (meaningful participation). Praktik didaerah terkait verifikasi data, terdapat berbagai kesenjangan waktu, ada daerah yang melakukan verifikasi setiap 3 bulan sekali, ada pula yang dilakukan sebulan sekali. Pelaksanaan kebijakan pendataan yang mengintensifkan interaksi antara pembuat kebijakan dan penerima layanan akan menambahkan kepekaan dan kesadaran terhadap layanan. Penonaktifan data seringkali dilakukan tanpa melibatkan masyarakat sehingga pemerintah harus transparan dalam kepesertaan BPJS. Dalam konteks ini peran kecamatan, desa hingga RT menjadi penting karena pihak tersebut yang memahami dan berinteraksi langsung dengan masyarakat. Sudah saatnya pemerintah mengesampingkan kepuasan sesaat, lalu lebih mempertajam strategi dan perubahan struktural jangka panjang. Implementasi yang fokus pada upaya pemberdayaan dari bawah menjadi langkah penting untuk dilakukan.
Ahmad Adi Susilo