
Sumber: Liputan6
Sungai Brantas merupakan sungai terbesar kedua di Pulau Jawa yang telah lama menjadi kebanggaan masyarakat Jawa Timur. Selama ini, Brantas dikenal sebagai nadi kehidupan bagi ribuan makhluk hidup di sekitarnya. Dari hulu di Kota Batu, melewati Kota Malang, Blitar, Kediri, hingga bermuara di Selat Madura, Brantas membantu kehidupan banyak warga seperti membantu petani dalam irigasi sawah, menjadi tempat untuk nelayan mencari ikan, sekaligus menopang berbagai aktivitas sehari-hari. Mirisnya, di balik banyaknya peran penting itu, kondisi Sungai Brantas kini kian memprihatinkan. Bukan lagi air yang berkualitas, kini airnya keruh dan berbau busuk terkena polusi. Sungai yang seharusnya menjadi simbol kehidupan, justru mencerminkan kegagalan dalam tata kelola lingkungan.
Pada Juli 2025, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah melakukan kunjungan ke hulu Brantas di Kota Batu. Kunjungan ini termasuk program Susur Brantas yang bertujuan untuk memantau kondisi sungai. Mereka mengakui bahwa Sungai Brantas termasuk sungai yang “tercemar sedang hingga berat” dan berkomitmen untuk melakukan pemulihan Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas secara menyeluruh.
Akan tetapi, di akhir Agustus 2025 ditemukan dugaan pencemaran yang dilakukan oleh 4 perusahaan di wilayah Brantas. dua dari empat perusahaan yang diduga mencemari adalah pabrik gula. Pelanggaran yang ada dinilai dapat mengancam kualitas air di Sungai Brantas. Dugaan pelanggaran pertama berdasarkan temuan perluasan lahan oleh PT EAN (Etanol) tanpa adanya pembaruan dokumen lingkungan maupun persetujuan lingkungan. Dugaan yang kedua berdasarkan temuan adanya pembangunan fondasi tangki etanol oleh PT MRI (Etanol) tanpa persetujuan lingkungan. Ketiga, tak ditemukannya Persetujuan Teknis Pemenuhan Baku Mutu Air Limbah Domestik pada toilet-toilet di PT SGN Kediri. Dan dugaan yang terakhir melibatkan PT SGN (PG G) dengan temuan tidak adanya tempat khusus menyimpan abu ketel, sehingga limbah tersebut ditampung di kolam penampungan air dari wet scrubber. Menanggapi dugaan tersebut, Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup (PPLH) memasang papan peringatan di 4 perusahaan tersebut.
Sebenarnya, pemerintah sudah membuat program pembangunan dan rehabilitasi seperti Proyek Rehabilitasi Jaringan Irigasi Delta Brantas yang dikelola oleh Balai Besar Wilayah Sungai Brantas (BBWS). Bagaimanapun juga, pengelolaan sungai bukan hanya soal irigasi dan kuantitas air untuk pertanian. Aspek kualitas air, konservasi bantaran sungai, serta pengendalian limbah tampak kurang mendapat prioritas yang setara. Sebagai contoh, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memiliki rencana untuk melakukan rehabilitasi DAS hilir Brantas, namun sampai sekarang belum ada detail terbuka yang menyebutkan timeline lengkap, anggaran spesifik atau target ukuran rehabilitasi hilir secara publik. Hal tersebut menunjukkan bahwa fokus pemerintah terlalu sempit pada infrastruktur irigasi dan fisik.
Selain itu, Proyek Rehabilitasi Jaringan Irigasi Delta Brantas juga menunjukkan kurangnya akuntabilitas dan transparansi kepada publik dalam pelaksanaannya. Hal ini dibuktikan bahwa ditemukan papan nama proyek yang tidak menampilkan nama penyedia jasa. Papan tersebut hanya berisi peringatan material dan sebagian nama ditutup oleh lakban. PPK dan Pelaksana Teknis mengaku bertanggung jawab, ada pengawasan dari Dinas PU Sumber Daya Air Sidoarjo, namun progress proyek baru 5% padahal dimulai 1 Agustus 2025. Hal ini juga berkaitan dengan pelaksana lapangan yang tidak selalu hadir, karena tidak adanya informasi jadwal kerja yang jelas.
Temuan ini sejalan dengan hasil survei masyarakat yang menunjukkan rendahnya kepercayaan publik terhadap pengelolaan Sungai Brantas. Dalam survei yang dilakukan oleh Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) pada warga di Jawa Timur, sebanyak 62,1 persen menyatakan pengelolaan Sungai brantas di bawah kepemimpinan Khofifah masuk kategori buruk. Selain itu, 88 persen responden meyakini jika Sungai Brantas saat ini masih tercemar oleh limbah dari rumah tangga maupun limbah industri. Terlebih lagi kondisi Sungai Brantas di wilayah Kota Malang yang semakin memprihatinkan.
Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) berulang kali mendesak Khofifah Indar Parawansa selaku Gubernur Jawa Timur serta Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk minta maaf atas kelalaian dalam mengurus Sungai Brantas. Tak hanya itu, Ecoton dan Komunitas lain seperti, Komunitas Penyayang Ikan dan Perairan Nusantara (KOPIPA) juga menekan pemerintah dan kementerian terkait untuk menegakkan regulasi terkait sungai secara tegas, ironisnya, kritik terhadap penanganan Sungai Brantas nyaris selalu berbuntut pada klaim kegagalan pengawasan.
Pada 19 Oktober 2025, Komunitas Brantas Mbois bersama jaringan relawan JEJAK (Jaringan Gen Z Jawa Timur Tolak Plastik Sekali Pakai) menemukan banyak hal mencengangkan saat melakukan susur sungai dan penelitian mikroplastik. Titik yang mereka susuri di antara lain di kawasan Polehan, Jembatan Muharto, dan Kebalenwetan. Sungai Brantas kini menjadi “tempat sampah umum”, ditemukan banyak popok, styrofoam, serta limbah rumah tangga. Kondisi ini diperparah dengan tidak adanya layanan pengangkutan sampah yang memadai di kawasan bantaran sungai. Truk atau kendaraan pengangkut sampah banyak yang tidak menjangkau lokasi bantaran sungai karena akses yang sulit.
Bukan hanya sampah padat, ditemukan juga banyak kandungan mikroplastik oleh tim peneliti di beberapa titik Sungai Brantas. Di sekitar Jembatan Muharto, tercatat setiap 10 liter air terdapat 31 partikel fiber, 9 partikel filamen, dan 3 partikel fragmen. Selain itu, di beberapa titik tepian sungai juga ditemukan ceceran kotoran manusia. Ironisnya, meskipun air sungai sudah sangat tercemar, masyarakat masih memanfaatkan Sungai Brantas untuk beraktivitas sehari-hari, mulai dari mencuci hingga anak-anak yang masih mandi di sungai yang kotor itu.
Disebutkan juga di dalam sebuah penelitian, bahwa pada 10 tahun yang lalu tercatat 13 jenis ikan lokal. Namun, di penelitian terbaru hanya ditemukan 7 jenis ikan lokal. Ini menunjukkan kerusakan ekosistem yang parah dan berdampak ke sumber pangan masyarakat. Pemerintah seharusnya juga menjamin ekosistem di sungai sehat.
Lebih jauh lagi, beberapa temuan pada 5 tahun ini menunjukkan bahwa sebagian ikan di Sungai Brantas telah terkontaminasi oleh mikroplastik akibat pembuangan limbah industri dan domestik. Jika terus dikonsumsi, ikan yang tercemar ini akan menimbulkan gangguan kesehatan serius seperti kanker. Artinya, pencemaran Sungai Brantas bukan sekadar persoalan lingkungan, tetapi menjadi ancaman langsung bagi kesehatan masyarakat. Dari pemerintah sendiri pun belum ada program untuk restorasi habitat ikan dan vegetasi riparian. Padahal program ini adalah upaya untuk memperbaiki kualitas alam.
Jika pencemaran ini terus berlanjut, risiko kualitas hidup warga akan meningkat akibat air sungai yang terkontaminasi. Limbah yang dibuang ini akan mencemari air sungai di kota dan kabupaten yang dilalui aliran Sungai Brantas. Bahkan, banyak PDAM di Jawa Timur bergantung pada Sungai Brantas sebagai sumber air baku. PDAM Surya Sembada Surabaya, misalnya, mendapatkan sekitar 97% pasokan air bakunya dari Kali Surabaya yang merupakan anak Sungai Brantas. Selain itu, PDAM Kota Malang dan PDAM Legundi juga mengambil air secara langsung dari aliran Sungai Brantas untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Karena itu, dibutuhkan langkah serius dari pemerintah, bukan hanya janji belaka.
Untuk menanggulangi masalah Sungai Brantas, ada beberapa kebijakan yang harus diimplementasikan oleh pemerintah. Pertama, pemerintah harus mengambil langkah tegas untuk menertibkan bangunan liar yang berdiri di bantaran sungai. Bangunan-bangunan ini, terlebih lagi bangunan industri, biasanya sering menjadi penyumbang limbah yang dibuang ke sungai sehingga memperparah pencemaran. Beberapa cara untuk menertibkan adalah dengan mengeluarkan peringatan terhadap industri untuk mengolah limbah cairnya sebelum dibuang ke sungai, kemudian memberikan tindakan hukum berupa sanksi administratif (denda, penghentian kegiatan sementara, hingga pencabutan izin) bagi industri yang melanggar atau membuang limbah cair melebihi baku mutu berdasarkan PP 82/2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Sebagai contoh, di Sungai Citarum Jawa Barat, pemerintah mengimplementasikan kebijakan penertiban bangunan liar di bantaran sungai berdasarkan PP 82/2001. Implementasi kebijakan tersebut membawa hasil berupa peningkatan kualitas air hingga 51,05 poin di tahun 2024.
Kedua, berdasarkan hasil temuan Komunitas Brantas Mbois bersama jaringan relawan JEJAK saat melakukan susur Sungai Brantas, diketahui bahwa kawasan bantaran sungai masih belum memiliki layanan pengangkutan sampah yang memadai. Oleh karena itu, pemerintah harus segera menyediakan sarana dan layanan pengangkutan sampah yang dibutuhkan masyarakat. Truk sampah jarang menjangkau permukiman di tepi sungai, tempat pembuangan sementara nyaris tidak ada. Akibatnya, setiap hujan deras, tumpukan sampah plastik dan limbah domestik hanyut mengikuti arus, menambah beban pencemaran yang sudah parah. Pemerintah seharusnya melihat persoalan ini bukan hanya sebagai masalah perilaku masyarakat, tetapi sebagai kegagalan pelayanan publik yang perlu segera dibenahi. Sebagai contoh Bantaran Sungai Puntun di Kota Palangka Raya. Pemerintah Kota Palangka Raya melalui Dinas Lingkungan Hidup Kota Palangka Raya menyatakan secara eksplisit bahwa mereka menambah armada angkutan sampah dan melakukan edukasi warga di kawasan bantaran sungai agar sampah tidak lagi menumpuk dan hanyut ke sungai.
Dan yang terakhir, pemerintah harus mengadakan patroli rutin untuk memantau dan menindak tegas para pelaku pembuangan limbah ke Sungai Brantas. Meski pemerintah sudah memasang CCTV, tetapi hanya dipasang di beberapa tempat saja, seperti di Jembatan Muharto dan Jembatan Ranu Grati di Kota Malang, serta di Jembatan Karang Pilang di perbatasan Surabaya. Pemerintah perlu memasang CCTV di setiap Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas yang dekat dengan industri, seperti di Pabrik Pengolahan Biji Plastik di Jombang dan PT PG.
Sungai Brantas masih bisa diselamatkan jika ada komitmen nyata dari pemerintah, dukungan masyarakat, serta kolaborasi bersama komunitas lingkungan. Pemerintah harus segera mengambil langkah tegas, bukan hanya sekadar retorika. Tanpa tindakan nyata, Sungai Brantas tidak hanya akan terus rusak, tapi juga menjadi simbol kegagalan pengelolaan publik yang merugikan ribuan warga yang bergantung padanya.
Cendana Syarafina Putri
