Bukan Sekadar Jembatan Rusak, Sonokembang Sedang Krisis Prioritas Anggaran Pemkot

Sumber: Sudutkota

Sejak awal September 2025, wilayah Kota Malang mengalami curah hujan yang cukup tinggi hampir setiap hari. Intensitas hujan meningkat pada awal Oktober, hingga pada Jumat pagi, 10 Oktober 2025. Hujan deras yang berlangsung selama lebih dari lima jam tanpa henti menyebabkan arus air di saluran dan sungai sekitar Kelurahan Pandanwangi, Kecamatan Blimbing, meningkat tajam.

Jembatan Sonokembang yang berada di kawasan vital tersebut tidak mampu menahan arus air yang sangat besar. Pondasi jembatan yang sudah mulai retak sejak beberapa waktu lalu akhirnya ambles diterjang arus deras. Kondisi ini diperparah oleh tumpukan sampah yang menumpuk di bawah jembatan dan menghambat aliran air, serta beberapa dahan pohon besar yang ikut terbawa arus dan menghantam struktur pondasi.

Banyak anak-anak sekolah yang terbiasa pergi dan pulang sekolah melewati jembatan tersebut, kini harus memutar ke jalan lain yang lebih jauh. Gangguan juga terjadi pada mobilitas seperti pengangkutan sampah ke TPS terdekat, serta aktivitas lainnya. Akibat amblesnya jembatan, masyarakat berinisiatif mengumpulkan dana swadaya, kemudian membangun jembatan darurat dari bambu. Jembatan darurat ini setidaknya dapat dilalui kendaraan roda dua untuk mempermudah mobilisasi sementara. Struktur bambu tersebut tidak dirancang atau dibangun layaknya infrastruktur permanen yang memenuhi standar keselamatan, karena sifatnya hanya “sementara”. Ini menimbulkan risiko keselamatan yang tinggi terutama ketika hujan lebat atau aliran sungai meningkat.

Sehari setelah jembatan ambles, Walikota Malang melakukan peninjauan langsung ke TKP dan memperkirakan perbaikan. Namun, hingga dua minggu setelah kejadian, belum ada upaya perbaikan yang dilakukan. Padahal, jembatan tersebut merupakan jalur vital yang menunjang aktivitas ekonomi warga sekitar, sehingga perbaikannya sangat mendesak untuk segera direalisasikan.

Belanja Tidak Terduga yang Tidak Cukup

Setelah Jembatan Sonokembang ambles, langkah awal yang diambil oleh Pemkot Malang yaitu dengan peninjauan ke TKP secara langsung. Namun kini, proses perbaikan masih belum dilaksanakan karena BTT yang tersedia di penghujung tahun ini hanya sebesar Rp 2 miliar, dimana angka tersebut jauh dari perkiraan anggaran yang dibutuhkan untuk perbaikan jembatan yaitu sekitar Rp 5 miliar. Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan dan Kawasan Permukiman (DPUPRPKP) Kota Malang, Dandung Djulharjanto, menjelaskan bahwa anggaran sebesar itu belum bisa dialokasikan hingga akhir tahun 2025, sehingga Pemerintah Kota Malang berencana mengusulkan tambahan anggaran dalam APBD Tahun 2026. Saat realisasi APBD Tahun 2026, anggaran dapat digunakan untuk memperbaiki jembatan pada bulan April, menunjukkan bahwa keterlambatan perbaikan akan semakin memanjang. Selain persoalan anggaran, waktu pelaksanaan perbaikan juga menjadi kendala tersendiri. Menurut Dandung, proses pengadaan barang minimal membutuhkan waktu 45 hari, namun waktu tahun anggaran hanya tersisa dua bulan.

Ketika dana BTT tidak memadai untuk menutupi biaya kerusakan infrastruktur secara menyeluruh, maka pemerintah daerah dapat melakukan realokasi anggaran dari APBD sebagai langkah lanjutan. Mekanisme realokasi ini harus tetap sesuai dengan regulasi penganggaran dan pelaporan daerah. Regulasi mengharuskan bahwa penggunaan anggaran dalam keadaan darurat harus memiliki dasar penetapan yang jelas, bersifat transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan meskipun itu merupakan hasil realokasi. Penggunaan BTT untuk proyek seperti pembangunan jembatan yang ambles secara mendadak harus dilakukan dengan mengikuti prosedur yang diatur agar mempunyai landasan hukum yang sah, terutama jika BTT saja tidak mencukupi dan diperlukan perluasan alokasi melalui perubahan APBD. Pemerintah Kota Malang berinisiatif untuk menyewa jembatan rakitan yang disebut Bailey. Jembatan ini akan menjadi penghubung sementara yang memakan anggaran sebesar Rp 1 miliar selama kurang lebih 7 hingga 8 bulan waktu sewa. Ini menjadi langkah untuk menunjang aksesibilitas masyarakat hingga jembatan permanen terselesaikan. Selain itu Pemerintah Kota Malang melalui Dinas Perhubungan juga akan mengatur lalu lintas di lingkungan jembatan, sehingga diberlakukannya pembatasan berat kendaraan sesuai kelas jalan.

Walaupun jembatan Bailey dipilih sebagai solusi cepat karena dapat dipasang dalam waktu singkat, Arief Wahyudi (Anggota DPRD Kota Malang Komisi C) menyatakan bahwa sewa bailey dinilai tidak efektif dan hanya menghabiskan anggaran karena tetap menunda perbaikan permanen. Pemasangan Bailey selama kurang lebih 7 – 8 bulan menghabiskan anggaran sekitar Rp 1 miliar. Sementara estimasi total biaya perbaikan permanen jembatan disebut mencapai Rp 5 miliar. Kesenjangan besar antara anggaran sementara dan kebutuhan permanen menunjukkan bahwa pemasangan bailey bisa saja menjadi “tambal sulam” yang mengulur waktu dan biaya daripada percepatan perbaikan jangka panjang.

Penggunaan BTT memang masuk akal sebagai anggaran darurat untuk menanggulangi kerusakan jembatan secara mendadak. Namun, ketika BTT hanya digunakan untuk solusi darurat sementara, seperti penyewaan jembatan Bailey, dan tanpa diikuti langkah mempercepat pembangunan permanen yang seharusnya dianggarkan secara lengkap, Pemerintah Kota belum menyelesaikan permasalahan dengan sigap. Dalam kasus ini terlihat bahwa perbaikan belum disertai rencana pembiayaan jangka panjang yang jelas. Perbaikan permanen dijadwalkan masuk dalam anggaran Tahun 2026 dan bukan segera, meskipun jembatan ambles pada Oktober 2025, bagi warga yang aksesnya terputus, penundaan ini berarti beban yang terus berlanjut baik secara mobilitas maupun ekonomi.

Regulasi Anggaran Perbaikan Jembatan

Pada dasarnya, anggaran perbaikan jembatan yang rusak karena bencana berasal dari APBD dan sudah dianggarkan melalui Belanja Tidak Terduga (BTT). Penggunaan dalam APBD diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah.  Belanja Tidak Terduga adalah pengeluaran anggaran untuk kegiatan yang sifatnya tidak biasa dan tidak diharapkan berulang seperti penanggulangan bencana alam, bencana sosial, dan pengeluaran tidak terduga lainnya yang sangat diperlukan dalam rangka penyelenggaraan kewenangan pemerintah pusat/daerah.

Jembatan Sudah Retak Sebelum Amblas

Kepala DPUPRPKP Kota Malang, menyampaikan bahwa pihak kelurahan telah terlebih dahulu menginformasikan munculnya retakan pada pondasi jembatan tersebut. Ia juga menyebut bahwa tim DPUPRPKP sudah melakukan asesmen awal guna menyiapkan rencana perbaikan. Meskipun laporan dan asesmen sudah dilakukan, tindak lanjut dari asesmen tersebut masih kurang responsif. Jika laporan retakan sudah ada sebelum ambles, maka bisa dipertanyakan mengapa mitigasi, peringatan pengguna, atau penutupan jembatan tidak segera dilakukan sebelum amblesnya Jembatan Sonokembang. Menganggap intensitas hujan yang sangat tinggi, sampah, dan dahan pohon yang menghantam pondasi jembatan sebagai penyebab amblesnya jembatan adalah benar secara teknis. Namun ini dapat menjadi alasan untuk menutupi kegagalan perencanaan dan pemeliharaan. Dengan kata lain kerusakan pondasi karena retakan dan beban melebihi kapasitas sudah menunjukkan bahwa risiko telah diketahui, sehingga robohnya jembatan bisa dipandang sebagai kegagalan preventif.

Jembatan Sonokembang memiliki dua pondasi yaitu bagian lama dan bagian baru. Setelah dilakukan peninjauan, Jembatan Sonokembang ambles pada bagian pondasi baru. Jika sebuah pondasi yang relatif baru sudah rapuh hingga retak dan akhirnya amblas akibat arus sungai, maka muncul pertanyaan tentang apakah spesifikasi teknis, survei geoteknik dan analisis kapasitas beban kendaraan telah dipenuhi dengan baik saat pembangunan. Terkait kualitas bangunan sebelumnya, apabila salah satu faktor retaknya jembatan adalah beban kendaraan yang melebihi kapasitas, bagaimana dengan sistem pengendalian beban dan pemeliharaannya? apabila tidak dijalankan atau tidak diantisipasi, maka keruntuhan bukan semata karena hujan deras tetapi juga karena kegagalan manajemen infrastruktur. Lalu, jika keretakan pada pondasi baru sudah dilaporkan dan dinyatakan sebagai tanda kelemahan pondasi, mengapa anggaran untuk perbaikan mendasar tidak disiapkan lebih awal? Pengadaan anggaran yang baru dimasukkan 2026 menandakan bahwa perencanaan sebelumnya kurang responsif terhadap risiko yang sudah diketahui.

Hal ini memperlihatkan dua hal utama. Pertama, bahwa kerusakan jembatan bukan sekadar hal teknis kecil, melainkan menunjukkan perencanaan dan pemeliharaan infrastruktur yang mungkin kurang memadai. Kedua, tidak tersedianya anggaran perbaikan permanen dalam waktu cepat menunjukkan adanya keterbatasan anggaran atau proses birokrasi yang membuat penanganan mendesak menjadi terhambat. Warga akhirnya turun tangan membangun jembatan darurat dari bambu karena menunggu lebih dari dua minggu tanpa perbaikan resmi. Kondisi tersebut menimbulkan keraguan terhadap efektifitas tanggung jawab pemerintahan daerah dalam memastikan akses vital bagi masyarakat terutama pada proses penganggaran. Dengan akses yang terputus, dampak tidak hanya terhadap mobilitas warga tetapi terhadap ekonomi lokal, distribusi, aktivitas sekolah dan keselamatan pengguna jalan.

Kondisi Jembatan Sonokembang yang ambles di Kelurahan Pandanwangi, Kecamatan Blimbing, Kota Malang bukan sekadar kerusakan infrastruktur melainkan representasi nyata bagaimana akses vital masyarakat bisa terabaikan. Kenyataan bahwa perbaikan permanen belum terealisasi secara tuntas menunjukkan kekurangan dalam memperhatikan keselamatan, mobilitas dan produktivitas warga. Pemerintah Kota Malang sendiri sudah menginstruksikan percepatan melalui penggunaan dana BTT dan penanganan darurat. Namun, amblesnya pondasi pernah dilaporkan sebelumnya, dan estimasi pembiayaan jauh melebihi alokasi BTT, membuat persoalan ini tidak bisa ditunda lebih lama. Oleh karena itu, ada dua hal yang sangat penting untuk segera ditindaklanjuti. Pertama, Pemerintah Kota Malang harus membuka transparansi mengenai alokasi dan penggunaan anggaran BTT sehingga warga dapat mengawasi dan memahami kapan akses normal bisa kembali pulih. Kedua, bila kapasitas daerah terbatas, maka keterlibatan realokasi anggaran harus segera digerakkan sehingga perbaikan ini tidak tertunda hanya karena kendala anggaran BTT semata.

Cindy Rahmadani