Paradoks Jaminan Kesehatan Nasional: Hilangnya Nurani dalam Regulasi BPJS Kesehatan

Source: Memontum

Kesehatan seluruh warga dijamin oleh negara melalui amanat konstitusi, hal ini sesuai dengan pasal 28H ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Kemudian negara menghadirkan sebuah sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, sebagai bagian dari pelaksanaan amanat konstitusi tersebut. Program ini awalnya dibuat untuk memastikan bahwa seluruh warga negara memiliki akses yang adil, merata, dan terjangkau untuk mendapatkan layanan kesehatan. Namun, dalam praktiknya, pelaksanaan BPJS Kesehatan kerap menimbulkan polemik, terutama di tingkat pelayanan rumah sakit. Salah satu isu paling krusial adalah regulasi mengenai kriteria gawat darurat yang menentukan apakah pasien berhak mendapatkan pembiayaan dari BPJS di Instalasi Gawat Darurat (IGD). Regulasi tersebut menetapkan sejumlah indikator medis tertentu, seperti tingkat kesadaran atau kondisi yang membutuhkan tindakan medis untuk mencegah komplikasi tertentu, hal ini untuk memastikan bahwa penjaminan biaya hanya berlaku bagi pasien yang benar-benar berada dalam kondisi kritis. Tujuannya adalah menjaga efisiensi pembiayaan dan menghindari penyalahgunaan klaim. Masalahnya, standar ini sering kali bersifat kaku dan tidak mampu menangkap kompleksitas kondisi medis di lapangan. Akibatnya, pasien dan keluarga harus menanggung biaya besar, meski secara medis kondisinya tergolong berat dan berisiko fatal.

Di Malang sendiri, problem layanan kesehatan berbasis BPJS bukan kali pertama mencuat. Tahun 2023, misalnya, ratusan ribu peserta Penerima Bantuan Iuran Daerah (PBID) dinonaktifkan secara massal, sehingga banyak warga miskin kehilangan akses layanan kesehatan. Pada 2025, beberapa rumah sakit swasta besar, juga memutuskan kerja sama dengan BPJS, membuat pilihan warga semakin terbatas. Situasi ini memperlihatkan bahwa persoalan regulasi BPJS tidak hanya sebatas aturan medis, tetapi juga terkait tata kelola, kepatuhan rumah sakit, hingga komitmen pemerintah daerah dalam memastikan hak kesehatan masyarakat tetap terjamin. Sejak awal, BPJS didesain untuk memberikan perlindungan kesehatan universal bagi seluruh warga Indonesia, dengan prinsip gotong royong dan keadilan sosial. Namun, implementasi regulasi yang terlalu kaku, khususnya terkait indikator gawat darurat, sering kali mengorbankan kepentingan pasien.

Kasus seorang pasien warga Kota Malang yang tidak dapat menggunakan layanan BPJS Kesehatan kembali membuka luka lama mengenai permasalahan regulasi dan aksesibilitas kesehatan di Indonesia. Seorang Ibu dilarikan ke RS Panti Waluya Sawahan setelah mengalami demam tinggi dan tidak sadarkan diri. Namun, pihak rumah sakit menilai kondisinya tidak memenuhi kriteria “gawat darurat” sesuai standar BPJS. Akibatnya, keluarga dipaksa memilih jalur pasien umum, dengan pengeluaran biaya perawatan yang sangat besar. Tragisnya setelah sempat menjalani serangkaian pemeriksaan seperti MRI dan CT-Scan, pasien akhirnya meninggal dunia pada 11 Agustus 2025, meninggalkan keluarga dengan tagihan puluhan juta rupiah. Peristiwa ini menunjukkan adanya jurang antara cita-cita sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dengan praktik lapangan. 

Dalam kasus ini, syarat administratif menjadi tembok penghalang yang justru mengabaikan hak fundamental atas kesehatan dan keselamatan jiwa. Ironisnya, kejadian semacam ini bukan yang pertama. Sebelumnya, publik juga dikejutkan dengan berbagai kasus pasien yang ditolak BPJS karena dianggap tidak memenuhi kriteria gawat darurat, atau karena rumah sakit tertentu memutuskan kerja sama dengan BPJS. Situasi ini menimbulkan pertanyaan serius, apakah regulasi BPJS lebih berpihak pada pengendalian anggaran ketimbang kemanusiaan? Apakah standar yang diterapkan mampu menjawab kompleksitas kondisi medis yang beragam di masyarakat? Sejak diberlakukan, program ini dirancang dengan prinsip gotong royong, di mana iuran peserta digunakan untuk membiayai pelayanan kesehatan seluruh warga. Secara normatif, JKN-BPJS bertujuan menciptakan perlindungan kesehatan universal yang inklusif dan berkeadilan sosial. Hingga bulan Juli tahun 2025, tercatat lebih dari 280 juta penduduk Indonesia telah menjadi peserta, menjadikan BPJS Kesehatan sebagai salah satu program jaminan kesehatan terbesar di dunia.

Tragedi yang menimpa seorang warga Kota Malang, menjadi contoh nyata bagaimana regulasi BPJS dapat berakibat fatal. Pada awal Agustus 2025, sang Ibu mengalami demam tinggi, tubuh lemas, dan tidak sadarkan diri. Keluarga segera membawanya ke RS Panti Waluya Sawahan (RKZ) Malang untuk mendapat penanganan darurat. Namun, ketika dilakukan pemeriksaan awal di Instalasi Gawat Darurat, pihak rumah sakit menyatakan bahwa kondisi pasien tidak memenuhi kriteria “gawat darurat” sebagaimana ditetapkan oleh BPJS. Dengan demikian, fasilitas BPJS yang dimiliki pasien tidak dapat digunakan untuk menanggung biaya perawatan. Dalam kondisi mendesak, keluarga tidak memiliki pilihan selain menandatangani pernyataan agar sang Ibu dirawat sebagai pasien umum. Selama beberapa hari, pasien menjalani serangkaian pemeriksaan medis termasuk CT-Scan dan MRI untuk mendeteksi penyebab gangguan kesehatan yang dialaminya. Sayangnya, seluruh biaya ditanggung secara pribadi oleh keluarga, dengan pengeluaran awal mencapai Rp 10,5 juta. Setelah pasien meninggal dunia pada 11 Agustus 2025, total biaya perawatan yang harus ditanggung keluarga melonjak hingga sekitar Rp 35 juta. Di satu sisi, rumah sakit terikat pada aturan BPJS yang hanya mengakui indikator medis tertentu sebagai dasar pembiayaan gawat darurat. Di sisi lain, pasien jelas berada dalam situasi darurat, baik dari segi kesehatan maupun finansial. 

Respon dari berbagai pihak pun muncul. DPRD Kota Malang melalui Komisi D menilai rumah sakit berada dalam posisi dilematis antara menaati regulasi dan menjunjung nilai kemanusiaan. Sementara Dinas Kesehatan Kota Malang menyatakan akan memanggil pihak BPJS maupun rumah sakit untuk meminta klarifikasi dan mencari solusi agar kejadian serupa tidak terulang. Meski demikian, kasus ini telah menegaskan adanya celah serius dalam implementasi kebijakan BPJS, di mana hak kesehatan masyarakat bisa terabaikan akibat interpretasi sempit terhadap aturan gawat darurat. Menurut Regulasi BPJS Kesehatan mengenai Kriteria Gawat Darurat berdasarkan PERMENKES Nomor 47 tahun 2018 Pasal 3 ayat (2) tentang Pelayanan Kegawatdaruratan dan PERPRES Nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, BPJS hanya dapat digunakan di Instalasi Gawat Darurat jika pasien memenuhi indikator medis tertentu yang sudah ditetapkan secara administratif. Dalam kasus ini, meskipun pasien demam dan kemudian tidak sadarkan diri, pihak rumah sakit tetap menilai kondisinya belum memenuhi kriteria gawat darurat sesuai regulasi BPJS, sehingga klaim pembiayaan ditolak. 

Ketidakselarasan antara standar administratif dan realitas medis inilah yang menimbulkan situasi yang terbilang tragis, di mana pasien justru tidak dapat memanfaatkan haknya sebagai peserta BPJS. Lebih jauh, regulasi yang terlalu kaku ini menimbulkan konsekuensi sosial yang signifikan. Selain itu, hal ini dapat menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap BPJS dan rumah sakit, serta menimbulkan anggapan bahwa sistem jaminan kesehatan tidak berpihak pada rakyat. Pada akhirnya, tujuan utama JKN sebagai jaminan kesehatan universal berpotensi tergerus oleh regulasi administratif yang menomorduakan aspek kemanusiaan. Kasus penolakan klaim BPJS terhadap seorang pasien di Kota Malang juga memperlihatkan kontradiksi antara regulasi administratif dengan amanat konstitusional. UUD 1945 Pasal 28H ayat (1) dengan jelas menyatakan bahwa setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Hak tersebut bersifat fundamental, tidak bergantung pada indikator administratif tertentu yang kerap menimbulkan diskriminasi akses. Penetapan kriteria gawat darurat yang sempit memang bisa mencegah inflasi klaim dan membatasi beban biaya, tetapi di sisi lain mengorbankan banyak pasien yang berada dalam situasi kritis. 

Kebijakan ini menciptakan ketidakadilan struktural, dimana mereka yang mampu membayar biaya secara pribadi tetap mendapatkan layanan kesehatan, sedangkan masyarakat miskin menjadi korban eksklusivitas sistem. Hal ini bertentangan dengan prinsip universal health coverage yang seharusnya menjamin akses kesehatan bagi seluruh lapisan masyarakat tanpa diskriminasi. Dalam konteks ini, segitiga BPJS-Rumah Sakit-Pasien, pasien adalah pihak yang paling lemah. BPJS sebagai pembayar tunggal mendikte aturan main. Rumah sakit, demi kelancaran operasional dan pembayaran klaim, terpaksa menjadi perpanjangan tangan dari kebijakan BPJS dan melimpahkan seluruh risiko finansial dan medis kepada pasien. Surat pernyataan menjadi pasien umum adalah bukti nyata pelimpahan tanggung jawab tersebut.  Posisi rumah sakit bukanlah sekadar dilema, melainkan sebuah instrumen kebijakan yang menempatkan pasien sebagai korban akhir. Ketika keluarga dipaksa menandatangani surat pernyataan menjadi pasien umum, saat itulah terjadi pelimpahan brutal dari kegagalan sistemik negara kepada pundak individu. Ketidakselarasan kepentingan inilah yang melahirkan dilema etik sekaligus ketidakpercayaan publik terhadap sistem kesehatan. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada ruang bagi Indonesia untuk memperbaiki sistem BPJS agar lebih berorientasi pada keselamatan pasien, tanpa harus kehilangan prinsip efisiensi yang menjadi alasan utama regulasi.

Kasus penolakan klaim BPJS terhadap pasien di Malang tidak hanya berhenti pada tragedi personal, melainkan memiliki implikasi sosial yang lebih luas. Pertama, muncul risiko menurunnya tingkat kepercayaan publik terhadap BPJS Kesehatan sebagai lembaga penyelenggara jaminan sosial. Ketika masyarakat melihat bahwa kepesertaan yang mereka bayar setiap bulan tidak dapat digunakan pada saat paling genting, timbul persepsi bahwa BPJS lebih berfungsi sebagai birokrasi administrasi ketimbang penjamin kesehatan. Rasa kecewa ini dapat berujung pada penurunan kepatuhan iuran, bahkan resistensi sosial terhadap kebijakan pemerintah di bidang kesehatan. Kemudian, dampak finansial terhadap keluarga pasien sangat signifikan. Bagi kelompok masyarakat menengah ke bawah, beban semacam ini dapat berakibat pada kemiskinan medis (medical poverty), di mana seluruh sumber daya ekonomi keluarga tersedot untuk membiayai kesehatan, meninggalkan mereka dalam kondisi rentan secara sosial maupun ekonomi. Terakhir, jika situasi ini dibiarkan, maka akan menciptakan ketidakadilan struktural dalam sistem kesehatan. Mereka yang mampu secara finansial tetap bisa mengakses layanan dengan membayar jalur umum, sementara masyarakat miskin semakin termarjinalisasi. Hal ini berpotensi memperlebar kesenjangan sosial dan menimbulkan ketidakpuasan publik yang lebih besar terhadap pemerintah. Pada titik tertentu, ketidakpuasan ini bisa berkembang menjadi krisis kepercayaan yang tidak hanya membahayakan legitimasi BPJS, tetapi juga kredibilitas negara dalam memenuhi hak dasar warga negaranya.

Namun, perlu dipahami bahwa akar masalahnya bukan sekadar ‘regulasi yang kaku’, melainkan komodifikasi sistemik terhadap kesehatan. Nyawa manusia dinilai berdasarkan checklist administratif yang lebih memprioritaskan kesehatan fiskal BPJS ketimbang keselamatan pasien. Nurani tidak sekadar ‘hilang’, tetapi secara sadar dikorbankan atas nama efisiensi anggaran. Penolakan klaim BPJS di saat pasien berada dalam kondisi kritis menunjukkan adanya kesenjangan antara idealisme program JKN yang mengusung asas universalitas dengan realitas di lapangan yang sarat birokrasi. Ketika nyawa pasien dipertaruhkan, semestinya keselamatan menjadi prioritas utama, bukan sekadar kepatuhan terhadap parameter administratif. Peristiwa ini juga menegaskan bahwa masalah BPJS bukan hanya soal teknis medis, tetapi juga soal keberpihakan negara terhadap rakyatnya. Ketika hak atas kesehatan yang dijamin oleh konstitusi terhambat oleh aturan yang tidak adaptif, maka negara gagal menjalankan mandatnya. 

Lebih jauh, kasus ini berpotensi menurunkan kepercayaan publik, memperburuk ketimpangan sosial, dan menjerumuskan banyak keluarga ke dalam jerat kemiskinan medis. Negara, melalui BPJS Kesehatan, harus kembali pada prinsip dasarnya untuk hadir dalam segala sisi kehidupan rakyat, melindungi nyawa, dan memastikan bahwa setiap warga negara memperoleh pelayanan kesehatan yang layak dan adil. Hanya dengan cara itu, cita-cita jaminan kesehatan universal dapat benar-benar terwujud di Indonesia. Oleh karena itu, solusinya bukan sekadar ‘regulasi yang lebih humanis’, melainkan reformasi struktural yang membongkar logika pasar dalam jaminan kesehatan. Kita menuntut akuntabilitas penuh dari negara. Siapa yang bertanggung jawab atas nyawa yang hilang ini? Tragedi ini tidak boleh berakhir sebagai duka personal, ia harus menjadi monumen pengingat perlawanan terhadap ketidakadilan sistemik.

Nabilla Azizah Putri