Patologi Tata Kelola: Program Makan Bergizi Gratis (MBG) Harus Dimoratorium dan Diaudit Total

Sumber: Antara

Sejak Januari 2025, pemerintah menggembar-gemborkan program Makan Bergizi Gratis (MBG) sebagai terobosan besar untuk menekan angka stunting sekaligus memperbaiki kualitas gizi anak-anak Indonesia. Presiden Prabowo bahkan menargetkan 82,9 juta penerima manfaat hingga akhir 2025, menjadikannya salah satu program sosial dengan cakupan terbesar sepanjang sejarah republik. Namun, janji besar itu justru berbalik arah. Fakta di lapangan menunjukkan program yang seharusnya menjadi solusi, malah berubah menjadi sumber masalah baru yang serius. 

Data Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menunjukkan bahwa sejak awal Januari hingga 30 September 2025, terdapat sebanyak 9.286 kasus keracunan MBG yang tersebar di 22 provinsi di Indonesia dengan lebih dari 300 di antaranya berada di Jawa Timur. Beberapa kasus bahkan menelan korban hingga seribu orang dalam satu kejadian, seperti di Bandung. Ironisnya, meski Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 dan Permenkes Nomor 2 Tahun 2013 sudah jelas mengatur syarat penetapan Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan pangan, pemerintah pusat maupun Badan Gizi Nasional (BGN) seolah menutup mata. Pemerintah pusat dan Badan Gizi Nasional (BGN) secara sadar mengabaikan aturan penetapan Kejadian Luar Biasa (KLB), meskipun ribuan anak telah menjadi korban. Sikap ini bukan lagi kelalaian, melainkan pembiaran yang menunjukkan bahwa citra politik program lebih diutamakan daripada keselamatan nyawa anak-anak. Alih-alih menyehatkan, MBG kini identik dengan kelalaian sistemik, pengabaian hak anak atas pangan yang aman, serta potensi korupsi.

Kegagalan Jaminan Keamanan Pangan (Food Safety) 

Penyebab utama dari rentetan kasus keracunan massal dalam program MBG ini adalah kegagalan sistematis dalam menjamin keamanan pangan, terutama pada rantai pasok dan standar higienitas. Para pakar gizi menjelaskan bahwa insiden keracunan paling sering terjadi akibat kontaminasi (bakteri, virus, atau toksin alami) yang menempel pada makanan, peralatan, atau wadah distribusi. Kontaminasi ini diperburuk oleh rantai pasok yang panjang, penyimpanan yang tidak tepat, dan pengolahan yang tidak higienis. Kasus keracunan di Bandung Barat, di mana ayam dibeli Sabtu dan baru dimasak Rabu, menunjukkan manajemen bahan baku yang sangat buruk dan pengabaian prinsip kontrol suhu serta rotasi bahan.  

Kegagalan implementasi standar keamanan pangan ini dikonfirmasi oleh data internal BGN sendiri. Hingga Oktober 2025, BGN mengungkapkan bahwa baru 198 dari total 10.012 dapur MBG (SPPG) yang beroperasi yang telah memiliki sertifikat laik higiene dan sanitasi. Realitas bahwa lebih dari  98% dapur beroperasi tanpa jaminan standar kebersihan dasar merupakan bukti nyata bahwa BGN mengorbankan keselamatan pangan anak demi mencapai target ambisius sebesar 82.9 juta penerima manfaat pada akhir 2025.

Bagaimana mungkin program bernilai triliunan rupiah dipercayakan kepada satuan pelaksana yang minim kompetensi di bidang food safety? Ini adalah kelalaian (negligence) sistemik yang memperkuat tuntutan pertanggungjawaban hukum terhadap BGN dan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) selaku penyelenggara dapur. Tekanan untuk mencapai target program yang tinggi dari program ini telah melampaui kapasitas negara dalam menjamin keamanannya, termasuk menjadikan setiap piring makanan yang disajikan memiliki risiko yang tinggi.

Model Sentralistik yang Mendegradasi Peran Daerah

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) sejak awal dirancang dalam kerangka yang sangat sentralistik, di mana seluruh proses pengambilan keputusan dan implementasi dikendalikan penuh oleh Badan Gizi Nasional (BGN). Pola top-down ini seringkali mengabaikan peran dari institusi daerah. JPPI mencatat institusi daerah seperti Dinas Kesehatan dan Dinas Pendidikan daerah tidak dilibatkan sama sekali terhadap pengelolaan MBG. Model sentralistik ini memblokir mekanisme pengawasan grassroots dan feedback daerah yang seharusnya menjadi garis pertahanan pertama terhadap risiko keracunan. Selain itu, keterlibatan mantan militer sebagai petinggi BGN termasuk melibatkan aparat militer dalam pengawalan distribusi makanan menambah dimensi otoriter pada program, menciptakan suasana yang tidak ramah dan lebih mengedepankan citra politik daripada pemenuhan gizi yang partisipatif.

Kekosongan Payung Hukum dan Ambiguitas Kelembagaan

Kelemahan struktural tersebut juga diperparah oleh absennya payung hukum yang memadai. Meskipun program telah berjalan selama delapan bulan (Januari hingga September 2025), Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) mencatat bahwa MBG belum dilandasi oleh Peraturan Presiden (Perpres) sebagai payung hukum yang jelas dan peraturan teknis lainnya. Ketiadaan regulasi yang jelas pada masa operasional awal ini memicu berbagai persoalan, termasuk ketidakjelasan koordinasi antar-kementerian/lembaga (pusat-daerah) dan minimnya sistem pengawasan. Akibatnya, koordinasi lintas sektor tidak berjalan efektif, terutama dalam pengawasan standarisasi menu, serta mekanisme tanggung jawab atas insiden di lapangan.

Peraturan Presiden (Perpres) tentang Tata Kelola MBG direncanakan akan baru selesai menjelang Oktober 2025, setelah kasus keracunan massal meningkat dan mendapat sorotan publik luas. Keputusan untuk menjalankan program prioritas dengan anggaran triliunan rupiah selama sembilan bulan tanpa payung hukum menunjukkan adanya dorongan politik yang mengutamakan kecepatan implementasi di atas kehati-hatian regulasi (due diligence). Selain itu, pengesahan Perpres yang terburu-buru di tengah krisis dapat dilihat sebagai upaya damage control legal, bukan hasil perencanaan kebijakan yang matang.

Defisit Transparansi dan Akuntabilitas

Melihat realita bahwa tata kelola MBG menunjukkan tingkat ketertutupan yang sangat tinggi, maka secara langsung melemahkan kontrol publik dan membuka peluang diskriminasi serta praktik korupsi. Laporan dari JPPI mengatakan bahwa banyak dari dokumen Memorandum of Understanding (MoU) antara SPPG dan sekolah/orang tua bahkan melarang publikasi kasus keracunan serta tidak memuat pertanggungjawaban yang jelas terhadap makanan yang diberikan.

Minimnya informasi ini menyebabkan publik tidak mengetahui kriteria penerima, standar menu, maupun mekanisme distribusi. JPPI menemukan bahwa 70% sekolah yang dipantau tidak menerima informasi resmi tentang jadwal maupun standar gizi MBG. Indonesia Corruption Watch (ICW) juga melaporkan temuan serupa di Jakarta (Maret–April 2025), di mana informasi penerima tidak dibuka, distribusi makanan kerap terlambat hingga tiga jam, dan bahkan keluhan siswa/guru tidak ditindaklanjuti. 

Anggaran Jumbo dan Risiko Korupsi

Masalah transparansi yang lemah dalam MBG semakin berbahaya ketika dikaitkan dengan besarnya alokasi anggaran yang disiapkan pemerintah. Pada tahun 2025, program ini telah menelan biaya Rp 99 triliun (termasuk tambahan Rp 28 triliun), dan dalam Rancangan APBN 2026, pemerintah berencana menaikkannya menjadi Rp 335 triliun. Angka Rp 335 triliun ini setara dengan sekitar Rp 1,2 triliun per hari. Anggaran yang besar tersebut didapatkan melalui disrupsi anggaran pendidikan yang menyedot hingga 44% dari total anggaran pendidikan sebesar Rp 757 triliun di RAPBN 2026. Pengalihan dana sebesar ini menimbulkan kritik keras karena terjadi di tengah permasalahan krusial dalam sektor pendidikan, justru dana yang dipangkas seharusnya digunakan untuk mengatasi 4.2 juta anak yang masih tidak bersekolah, lebih dari 60% Sekolah Dasar yang rusak, atau mengatasi jutaan guru yang belum tersertifikasi.  

Keterbatasan transparansi di tingkat pengawasan menyebabkan publik tidak dapat menelusuri bagaimana dana sebesar itu digunakan dan siapa yang memperoleh keuntungan dari distribusinya. Menurut laporan Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara, hingga September 2025, daya serap anggaran MBG baru mencapai Rp 13,2 triliun. Rendahnya serapan ini memperlihatkan bahwa kapasitas kelembagaan program belum siap, tetapi anehnya justru dijadikan dasar untuk memperbesar anggaran. Kesenjangan antara dana yang dianggarkan dan dana yang benar-benar diserap inilah yang menciptakan celah lebar bagi praktik korupsi, seperti mark-up, kebocoran, dan penyelewengan.

Isu potensi risiko korupsi tersebut kian menguat karena laporan Transparency International Indonesia (TII) menunjukkan bahwa terdapat menu MBG tidak mencapai nilai rata-rata penerima manfaat sebesar Rp 10.000. Praktik pemotongan dana yang dilakukan oleh pengelola SPPG tersebut adalah semacam bentuk rent-seeking yang nyata dan sistemik, tidak hanya menurunkan kualitas menu tetapi juga menimbulkan risiko kerugian negara yang substansial (potential lost). Skema pemilihan mitra dapur yang bermasalah serta adanya konflik kepentingan disinyalir menjadi penyebab dan semakin memperkuat dugaan bahwa MBG merupakan “bancakan politik”. Dugaan bahwa MBG menjadi “bancakan politik” bukan tanpa dasar. Investigasi Tempo mengungkap bagaimana proyek ini secara sistematis dinikmati oleh kroni, tim sukses, dan politikus partai berkuasa. Keterlibatan yayasan yang terafiliasi langsung dengan elite politik dalam penunjukan mitra dapur menunjukkan adanya konflik kepentingan yang sangat kental, di mana program negara seolah menjadi ajang bagi-bagi kue kekuasaan.

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dirancang sebagai upaya dalam memperbaiki gizi dan menekan angka stunting di Indonesia, kini berubah menjadi cerminan nyata dari patologi tata kelola publik. Rangkaian kasus keracunan massal yang menimpa ribuan anak di berbagai provinsi menegaskan bahwa problem MBG bukanlah insiden teknis semata, melainkan kegagalan sistemik dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan.

Keputusan untuk memaksakan tetap melanjutkan program yang kurang siap ini dengan anggaran Rp 335 triliun pada tahun 2026, serta didominasi oleh pemangkasan anggaran pendidikan, menunjukkan bahwa program tersebut merupakan prioritas politik yang mengorbankan keselamatan publik dan investasi jangka panjang negara. Oleh karena itu, tuntutan untuk moratorium program MBG dan audit investigatif terhadap semua pihak yang terlibat bukanlah sebuah rekomendasi, melainkan keharusan untuk memastikan akuntabilitas dan mengembalikan fokus tujuan negara pada hak anak atas pangan yang benar-benar sehat dan aman.

Muhammad Raffi Prayoga